SSA Perlu Mendapat Bantuan Terapi
Hingga saat ini, masih banyak orang tidak mengetahui atau belum memahami bahwa ada kelompok lain yang berorientasi seksual sesama jenis, baik secara parsial atau keseluruhan. Namun, mereka secara sadar tetap ingin beridentitas heteroseksual dan disertai perasaan galau atau cemas dengan orientasi homoseksualnya, yang dalam istilah psikiatri disebut dengan kondisi ego distonik atau Peduli Sahabat menyebutnya dengan SSA (Same Sex Attraction). Begitu ungkap Psikiatri dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI) Dr. dr. Fidiansjah M.P.H., yang pernah memberikan keterangan sebagai Ahli dari Pihak Terkait Langsung di Mahkamah Konstitusi akhir tahun 2016 lalu.
Lebih lanjut, ia menjelaskan hal ini tercantum dalam buku Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa atau yang dikenal dengan (PPDGJ) edisi ketiga, kode F66.0, yaitu gangguan psikologi dan perilaku yang berhubungan dengan masalah orientasi seksual. "Dalam rangka memberikan panduan bagi profesional yang berkecimpung dalam bidang kedokteran, lebih khusus para praktisi kedokteran jiwa atau psycho psikiater dan secara umum kesehatan jiwa di Indonesia, maka telah disepakati sebuah buku Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa yang telah dimulai edisi kesatu pada tahun 1973, yang terus disesuaikan berdasarkan buku tersebut sejak tahun 1973 adalah diharapkan terjadi revisi setiap 10 tahun dalam rangka meng-update dan menyesuaikan dengan perkembangan-perkembangan keilmuan," jelasnya pria yang masih aktif di Kementerian Kesehatan ini.
Sehingga, menurutnya, edisi terakhir yang berlaku dan diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan adalah edisi ketiga terbitan tahun 1993, yang tentu juga telah menyesuaikan aturan yang dipakai oleh organisasi internasional dalam proses pengklasifikasi penyakit internasional yang dikenal dengan international classification diseases, edisi kesepuluh. "Pada buku PPDGJ ini telah disertai juga sebuah buku yang tidak banyak diketahui oleh banyak orang, yaitu disebut dengan Suplemen. Jadi, buku ini sebetulnya ada dua buku, buku yang disebut dengan PPDGJ yang menjadi acuan ICD 10 yang dipakai oleh banyak pihak," ungkap seperti yang dikutip dari Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi.
Buku tambahan yang disebut dengan suplemen ini didasarkan pada kearifan lokal di Indonesia, karena buku ini menjelaskan tentang konsep kearifan lokal dari sebuah pedoman yang berlaku secara internasional, namun disesuaikan dengan kondisi sosial, budaya, dan agama dari suatu komunitas yang diyakini oleh suatu negara. "Buku PPDGJ ini memang telah memberikan suatu perubahan terhadap suatu kesepatakan yang terkait dengan masalah orentasi seksual. Namun, sekali lagi dalam buku Suplemen telah dijelaskan bebarapa hal-hal khusus yang terkait dengan aspek sosial, budaya, dan norma-norma agama yang berlaku di Indonesia. Dan hal ini penting diketahui semua pihak bahwa unsur sosial, budaya, dan agama harus menjadi perhatian yang mengikat dalam mempertimbangkan masalah atau gangguan kesehatan jiwa," jelas mantan Kepala RSJ Soerojo Magelang ini.
Empat Pertimbangan terkait Kejiwaan
Pertimbangan sosial, budaya, dan agama dalam masalah dan gangguan jiwa juga diperkuat dengan beberapa alasan. Yang pertama, dikalangan para praktisi sangat paham ada sebuah pendekatan yang dikenal untuk melakukan upaya penatalaksana dalam masalah atau gangguan jiwa yang disebut dengan istilah eclectic holistic. Pendekatan ini, lanjut Fidiansjah, melalui empat aspek, yaitu aspek organo biology, yang kita kenal sebagai aspek fisik. Yang kedua adalah aspek psikologi. Yang ketiga adalah aspek sosial budaya. Dan yang keempat adalam aspek spiritual-religi. Dengan demikian, empat pendekatan ini sudah menjadi pedoman baku di kalangan para praktisi yang terikat di dalam kode etik dan pelaksanaan di dalam profesional di bidang psikiatri ini.
Terkait empat pendekatan ini, organisasi psikiater dunia World Psychiatry Association dan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia juga telah membentuk sebuah seksi khusus yang mencoba menghubungkan bagaimana keterkaitan ilmu psikiatri dengan aspek religi dan spiritual yang dikenal dengan seksi religi, spiritualitas, dan psikiatri. Kemudian Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 dan Undang-Undang Kesehatan Jiwa Nomor 18 Tahun 2014 telah menegaskan bahwa unsur kesehatan paripurna terdiri aspek fisik, mental, sosial, dan spiritual.
Selain itu, hasil-hasil penelitian ilmiah telah membuktikan adanya peran dan pengaruh spiritual religi yang signifikan dalam meningkatkan efisiensi dan efektifitas terapi dalam mengatasi masalah atau gangguan jiwa dan ini telah sejalan sebagaimana Einstein telah memberikan sebuah dogma, “Agama tanpa ilmu lumpuh dan ilmu tanpa agama buta.” Berdasarkan hal tersebut, maka para SSA perlu mendapatkan bantuan dari profesional agar bisa kembali ke heteroseksual yang bertanggungjawab.
LGBT beresiko Mengidap Gangguan Jiwa
"PDSKJI sebagai penghimpunan komunitas psikiater resmi di Indonesia juga telah memberi pernyataan dan sikap resmi terkait dengan masalah dalam konteks masalah orentasi seksual dan ini tentu menjadi acuan yang harus dipedomani oleh seluruh profesional di bidang kedokteran jiwa, yang menyatakan bahwa transeksualisme adalah gangguan identitas jenis kelamin yang jelas tercantum di dalam penggolongan diagnosis gangguan jiwa edisi ketiga dan ini dikategorikan sebagai ODGJ," ungkapnya lagi.
Sedangkan lesbian, gay, dan biseksual itu tergolong menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 berdasarkan hasil pertimbangan dari seluruh komponen majelis yang ada di Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia memberikan kategori bahwa LGB adalah orang yang mempunyai masalah fisik, mental, dan sosial sehingga pertumbuhan dan pengembangan dan/atau kualitas hidupnya memiliki resiko mengalami gangguan jiwa atau dikenal dengan ODMK.
"Jadi, memang dari istilah yang digunakan dalam Undang-Undang Kesehatan Jiwa telah dipilahkan kalau seandainya dalam ICD atau ODGJ tidak masuk di dalam sebuah penggolongan jiwa, maka dimungkinkan untuk dimasukkan di dalam istilah ODMK, yaitu orang dengan masalah kejiwaan yang merupakan kelompok yang berisiko tinggi dari sudut pandang ilmu kedokteran dan kesehatan dalam konteks kesehatan jiwanya," paparnya.
Menurut Fidiansjah lagi, bukan hanya PDSKJI, ada dua profesi lain yang juga telah memberikan pandangan dan rekomendasi yang serupa, yaitu Ikatan Psikologi Klinis dan Ikatan Perawat Jiwa Indonesia yang juga telah memberikan gambaran dan perspektif yang hampir sama bahwa orang dengan masalah kesehatan jiwa dalam konteks LGBT perlu mendapatkan bantuan terapi profesional yang bisa diupayakan untuk dikembalikan kepada kondisi heteroseksual yang bertanggung jawab.
Terkait rekomendasi tersebut, dirinya mewakili Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza (Dit P2MKJN) Kementerian Kesehatan telah menyusun dan membuat buku Pedoman Masalah Kesehatan Jiwa pada 2017 lalu. "Insya-a Allah kami akan lakukan sosialisasi ke semua pemangku kepentingan... buku tsb membahas secara komprehensif...diantaranya aspek psikoseksual termasuk LGBT," pungkasnya pada awal Februari lalu.
Karena menurutnya penyusunan buku pedoman tersebut sebagaj bagian dari melawan kemungkaran, sebagaimana Abu Sa’id al-Khudri ra., saat ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa di kalangan kamu melihat kemungkaran hendaklah mengubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka dengan lidahnya dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya dan demikian itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim: 40).
Belum ada Komentar untuk "SSA Perlu Mendapat Bantuan Terapi"
Posting Komentar