Bangkitnya Semangat Dakwah Di Simeulue

MAJALAH TABLIGH - BENCANA tsunami yang menimpa Nanggroe Aceh Daroessalam dan Sumatera Utara pada akhir tahun 2004, membuat nama Pulau Simeulue semakin terkenal. Pulau yang terletak di perairan barat Aceh ini sempat menjadi sorotan media karena merupakan salah satu wilayah yang dekat dengan episentrum gempa pemicu tsunami, hanya berjarak sekitar 60 kilometer. Saat itu, orang-orang mengira banyak korban tewas di Pulau Simeulue. Tapi perkiraan itu salah total. Tercatat hanya 6 orang korban tewas dan 1 orang hilang.
Masyarakat Simeulue mampu meminimalisir korban karena memiliki pengalaman sejarah yang membuat warga dapat bersikap antisipatif terhadap badai tsunami. Pengalaman itu adalah bencana tsunami pada tahun 1907. Masyarakat Simeulue menyebut kejadian alam ini smong. Sejak kejadian tahun 1907, secara turun-temurun ada semacam pelajaran yang disampaikan bahwa apabila terjadi gempa yang diikuti air laut surut, pasti akan diikuti pula dengan gelombang besar, dan untuk menyelamatkan diri adalah dengan lari ke gunung. Cara seperti inilah yang menyelamatkan masyarakat Simeulue dari tsunami lima tahun lalu.

Sekilas Wilayah dan Masyarakat Simeulue
Berdasarkan UU No. 48 Tahun 1999, Simeulue resmi menjadi kabupaten pada tahun 2000. Pada tahun 2002 terjadi pemekaran, dan sejak itu kabupaten ini terdiri dari delapan kecamatan; yaitu Simeulue Timur, Simeulue Barat, Simeulue Tengah, Salang, Alafan, Teupa Selatan, Teupa Barat dan Teluk Dalam. Terletak pada posisi koordinat 20º15’- 20º55’ Lintang Utara (LU) dan 95º40’ – 96º30’ Bujur Timur (BT), Kabupaten Simeulue memiliki sekitar 41 pulau besar dan kecil, termasuk Pulau Simeulue yang luasnya mencapai 205.148,63 ha. Sekitar 55.947 ha (27,3%) dari luas Pulau Simeulue adalah kawasan lindung dan 43.369 ha (21,1%) adalah kawasan budidaya. Dengan demikian, tutupan lahan kawasan Pulau Simeulue masih cukup luas. Diperkirakan dua per tiga pulau ini masih dipenuhi hutan lebat dengan tanaman yang bernilai ekonomi yaitu kayu-kayuan dan rotan.
Penduduk Pulau Simeulue berjumlah sekira tujuh puluh ribu jiwa yang tersebar di delapan kecamatan. Tiga bahasa yang dominan di kabupaten ini, yaitu bahasa Defayan, Salang, dan Jamu. Bahasa Defayan disebut bahasa Simoeloel oleh orang Simeulue Tengah. Sedangkan bahasa Salang disebut bahasa Sigulai oleh sebagian peneliti. Sebagian tetua di Nasreuhe mengatakan kalau sebenarnya asal muasal bahasa orang Sigulai atau Simeulue Barat pada umumnya adalah berasal dari Salang.
Bahasa Salang merupakan bahasa mayoritas di kecamatan Salang, Simeluleu Barat dan masyarakat kecamatan Alafan. Bahasa Simoeloel banyak digunakan di kecamatan Simeulue Tengah, Teupah Selatan dan Teupah Barat serta sebagian besar masyarakat di kecamatan Simeulue Timur. Walaupun dekat dengan Aceh, kebanyakan orang Simeulue tidak bisa berbahasa Aceh dengan baik. Hanya mereka yang pernah merantau ke Aceh daratan yang cukup fasih berbahasa Aceh.
Bahasa Jamu lebih mirip dengan bahasa Minangkabau. Bahasa ini digunakan oleh sebagian penduduk di kecamatan Simeulue Timur terutama di Ibukota Sinabang serta sebagian penduduk yang tersebar di berbagai kecamatan. Di samping itu, terdapat dua bahasa yang hanya digunakan sebagian kecil penduduk, yaitu bahasa Langi di kecamatan Alafan dan bahasa Lekon di kecamatan Teluk Dalam.
Dalam hal budaya, ada beberapa kesenian yang khas di pulau ini, yaitu Nandong, Buai, dan Nanga-nanga. Nandong seperti berdendang atau menyanyikan syair-syair berbahasa daerah yang berisi nasehat-nasehat atau hikayat, disertai dengan pukulan gendang dua sisi yang bentuknya seperti tabung. Kesenian ini hanya dibawakan oleh kaum laki-laki. Adapun Buai biasanya dilakukan oleh perempuan, berisi nyanyian syair yang mengandung pujian atau nasehat. Sedangkan Nanga-nanga merupakan nanyian yang berisi ratapan atau cerita kepahitan hidup. Ketiga kesenian ini pada dasarnya adalah nyanyian, namun dibawakan dengan irama khas yang berbeda antara satu dengan lain.
Selain itu, ada juga Dabus (Dabui), yaitu acara unjuk kebolehan memainkan benda-benda tajam seperti pisau, parang, kampak dan lain-lain, dengan menghujamkannya ke tubuh si pemain Dabus. Bahkan yang paling mengerikan, kadang-kadang ada yang menggunakan gergaji mesin. Namun saat ini, dabus sudah agak jarang diadakan. Beberapa tradisi lain yang masih sering dilakukan, yaitu acara manepet (turun anak), menegakkan rumah, dan berdoa di blang (sawah).
Kebanyakan penduduk Simeulue adalah nelayan dan petani. Laut memberikan penghasilan yang besar. Puluhan ton udang, lobster, ikan kering dan tripang diekspor setiap minggu. Di samping itu, Simeulue dikenal juga sebagai penghasil cengkeh, kopra dan minyak kelapa. Potensi hutannya, seperti kayu dan rotan diekspor ke luar daerah dalam jumlah besar. Simeulue juga dikenal dengan kerbaunya yang berdaging manis. Kerbau Simeulue sangat banyak, mereka hidup bebas di hutan belantara. Walaupun dibiarkan liar, kerbau-kerbau tersebut ada pemiliknya. Potensi wisata di Simeulue juga cukup bagus. Pemandangan yang indah di pesisir  pantai dan gelombang yang tinggi sering dimanfaatkan oleh para wisatawan dari mancanegara. Pelabuhan Sinabang yang ada juga sangat indah dengan air tenang karena beberapa pulau melindunginya dari terpaan angin dan badai. Di sekitarnya juga terdapat puluhan pulau kecil yang seolah menjadi pagar hias bagi Pulau Simeulue.
Namun demikian, masyarakatnya masih tetap hidup di bawah garis kemiskinan karena yang meraup keuntungan besar dari hasil alam itu bukanlah penduduk setempat, melainkan pihak luar yang datang mengelola hasil alam di sana. Sarana tranportasi yang kurang memadai juga menyebabkan warga tidak dapat memasarkan hasil pertaniannya dengan baik.

Perjalanan Dakwah di Simeulue
Menurut cerita tutur turun-temurun, pada mulanya Simeulue tidaklah masuk dalam kerajaan Aceh. Baru pada masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda, keberadaan pulau ini mulai diceritakan seorang wanita Simeulue kepada Sultan. Karena belum tersentuh oleh dakwah Islam, Sultan mengutus seorang ulama dari Minangkabau yang dikenal dengan sebutan Teungku Di Ujung untuk menyebarkan Islam di sana.
Pada masa itu, Minangkabau (Sumatera Barat dan beberapa daerah di sekitarnya) merupakan bagian dari kerajaan Aceh. Sedangkan Simeulue yang berdiri sendiri diperintah oleh seorang raja bernama Songsong Bulu yang masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Karenanya, awal dakwah Islam mendapat perlawanan yang cukup sengit, akan tetapi Allah telah berkehendak memancarkan cahaya kalimah-Nya dalam hati masyarakat Ulao, sebutan untuk masyarakat Pulau Simeulue. Hingga saat ini, nama Teungku Di Ujung diabadikan sebagai nama jalan lingkar Simeulue untuk mengenang jasanya dalam mendakwahkan Islam.
Pada masa selanjutnya, Buya Risman, wakil sekretaris Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus (MTDK) PP Muhammadiyah, menuturkan bahwa pada waktu dua puluhan tahun yang lalu Muhammadiyah sempat ‘mengutus’ beberapa Dai ke Simeulue. Salah satunya adalah Darlim yang sekarang menjadi kepala sekolah dari salah satu sekolah Muhammadiyah dan juga tokoh masyarakat Simeuleu. Darlim, yang juga berasal dari Simeulue, kini telah berkembang menjadi Dai mandiri. Darlim adalah ‘murid’ dari Muhsin, orang yang pernah menjabat di Majelis Ulama Ranah Minang. Muhsin sendiri adalah ‘murid’ dari Rustam Madjid.
Pada peringatan Milad 1 Abad Muhammadiyah di Simeulue, 9-10 Januari 2010, Risman Muchtar yang mewakili MTDK berkesempatan menyambangi pulau itu. Tidak hanya seremoni, Milad 1 Abad itu juga menjadi sarana bersilaturahim antara anggota Muhammadiyah, Dai dan jajaran pemerintah daerah yang hadir. Juga bersilaturahim dengan guru-guru Muhammadiyah dan generasi muda Muhammadiyah, yaitu Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Saling berbagi pengalaman dan menyemangati dalam aktivitas dakwah.
Dalam kunjungan itu, pria yang akrab dipanggil Buya Risman ini mendengar ada kesan bahwa sebelumnya Simeulue kurang mendapat perhatian atau kunjungan dari mubaligh dan tokoh perjuangan Muhammadiyah. Sehingga sempat membuat aktivitas dakwah kurang bergairah. Perhatian yang kurang itu disebabkan karena daerahnya yang memang cukup terpencil, akses tranportasi yang sulit dicapai. Acara milad pun baru dapat dilaksanakan setelah sebelas tahun tidak pernah ada acara serupa. Karena itu, tidaklah salah apabila Simeulue menjadi salah satu daerah binaan yang perlu dibina oleh MTDK.
Mengenai kurangnya perhatian yang ada, Buya mengatakan bahwa hal ini perlu menjadi catatan tersendiri mengenai pembinaan dari pusat dan dari wilayah yang kurang intensif. Koordinasi yang dibangun antara ranting, cabang, daerah, wilayah, apalagi dengan pusat Muhammadiyah, sebelumnya dapat dikatakan kurang terbangun secara baik. Padahal, ranting dan cabang merupakan garda terdepan yang perlu didukung di dalam mengembangkan dakwah di masyarakatnya. Namun demikian, saat ini sepertinya akan mulai terbangun jalinan yang baik. Ini bisa dilihat dengan diadakannya Milad 1 Abad Muhammadiyah yang dihadiri bukan hanya oleh pengurus pusat dan wilayah Muhammadiyah, tetapi juga oleh pemerintah daerah yang diwakili oleh Wakil Bupati yang cukup mendukung aktivitas dakwah di sana.
Dengan terselenggaranya acara itu, menjadi bukti bahwa semangat berdakwah masih cukup tinggi. Respon masyarakat sekitar pun cukup besar. Bukti lainnya adalah telah terbangunnya fasilitas sekolah baru yang dirintis oleh Muhammadiyah dari TK sampai Aliyah. Tapi memang tetap terdapat masalah soal ketersediaan sumber daya manusia. Di sana masih kekurangan tenaga guru. Karena itulah ada harapan dari pengurusnya untuk dicarikan beberapa orang tenaga yang siap berdakwah menjadi guru.  Dan mereka juga mengharapkan agar warga lulusannya dapat diterima di perguruan tinggi muhammadiyah agar bisa berkuliah secara gratis sehingga dapat menjadi Dai unggul yang mampu membawa kemajuan bagi masyarakat setempat.
Soal kemajuan masyarakat, masyarakat Simeulue memang masih banyak yang tertinggal. Dengan kondisi itu, Buya Risman mengatakan bahwa persoalan dakwah selain persoalan jumlah SDM Dai juga kemampuannya mendorong dan memotivasi masyarakat yang bersifat membangun. Dakwah di daerah seperti itu perlu ada kreativitas, perlu ada inovasi misalnya dalam pengembangan ekonomi di daerahnya agar ia bisa hidup juga menjadi Dai mandiri dan membawa kemajuan bagi masyarakat secara keseluruhan. Dai harus bisa melihat potensi dan peluang untuk mengembangkan masyarakat di daerahnya. Jadi, Dai juga mesti menjalankan peran sebagai fasilitator atau motivator. Perlu ada dai yang bukan hanya mampu menjawab berbagai persoalan keagaamaan secara normatif, seperti hukum, akidah, dan lainnya tetapi juga dalam masalah-masalah muamalah seperti pemecahan persoalan sosial dan ekonomi umat.
Firmansyah

Belum ada Komentar untuk "Bangkitnya Semangat Dakwah Di Simeulue"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel