Muhammadiyah dan Hari Tarwiyah

Pada hari Tarwiyah, 8 Zulhijjah 1440 ini, usia Muhammadiyah telah genap 110 tahun menurut hitungan tahun hijriyyah. Suatu usia yang menunjukkan kematangan untuk sebuah lembaga atau organisasi. Dari perjalanan hidup Muhammadiyah sepanjang 110 tahun tersebut tentu telah banyak sekali pengalaman yang dapat dipetik. Dinamika kehidupan baik yang menyenangkan maupun yang berat dan berbuah penderitaan. Suatu saat Muhammadiyah harus menghadapi masa-masa sulit, namun di saat yang lain, Muhammadiyah bersama kekuatan elemen umat Islam lainnya memperoleh banyak kemudahan. Itulah dinamika perjuangan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam yang berwawasan tajdid.

Dengan prinsip tajdid, dakwah Muhammadiyah menyapa umat ini untuk banyak melakukan perubahan dan perbaikan, dengan cara: pertama, memurnikan pemahaman dan pengamalan ajaran Islam sesuai dengan sumbernya yang asli, yakni Al Qur’an dan Al Sunnah Al Maqbulah, dengan meneladani generasi As-Sabiqunal Awwalun. (Q.S. At-Taubah/9: 100). Dan cara kedua, mengembangkan dan memajukan kehidupan umat manusia dengan penguasaan atas ilmu pengetahuan dan teknologi, namun tetap dilandasi oleh keimanan dan ketakwaan kepada Allah. (Q.S. Al-Mujadilah/58: 11). Tajdid dengan makna seperti di atas berakibat tidak mudahnya seseorang menerima dakwah Muhammadiyah, karena orang tersebut harus mencerna dengan sungguh-sungguh dakwah Muhammadiyah, dengan pencermatan dan pencernaan yang matang mereka yang akan masuk dan mendukung perjuangan Muhammadiyah, akan menjadi kader dan pejuang yang tangguh dan berkualitas.

Dari sinilah, kemudian Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi dakwah Islam yang memiliki peran besar bagi pengembangan kualitas sumberdaya insani umat Islam serta kemajuan bangsa dan negara Indonesia, sehingga memperoleh kemerdekaannya dengan usaha dan perjuangan yang gigih, bukan pemberian dari bangsa lain. Apabila ditinjau dari kuantitas, jumlah anggotanya tidak terlalu banyak, karena tidak semua orang dapat menerima dakwah Muhammadiyah, tetapi dari segi kualitas dan peran gerakannya, Muhammadiyah diakui oleh dunia sebagai agen perubahan sangat signifikan bagi umat Islam, bangsa Indonesia dan masyarakat dunia.

Pentingnya Hari Tarwiyah

Sampai saat ini memang belum ada yang memberikan makna fillosofis dan historis, mengapa Muhammadiyah diproklamirkan berdirinya oleh KH. Ahmad Dahlan tepat pada hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah 1330 H). Namun, sebagai gerakan tajdid, yang salah satu implementasinya adalah memahami dan mengamalkan Muhammadiyah sesuai sunnah nabawiyah, Muhammadiyah memandang penting hari tarwiyah dalam pelaksanaan Ibadah Haji di Baitullah. Dalam putusan tarjih Muhammadiyah, 1953 tentang Ibadah Haji, berdasar hadis Nabi SAW, Muhammadiyah menuntutkan untuk melakukan ibadah sunnah tarwiyah pada tanggal 8 Dzulhijjah, dari Mekah di penginapan masing-masing menuju Mina untuk melaksanakan shalat Zuhur, Ashar dan shalat fardhu lainnya bermalam hingga terbit matahari 9 Dzulhijjah (hari Arafah) baru beranjak menuju Arafah, syukur bisa mencapai Namirah, dan ketika masuk Zuhur dapat mencapai Bathnul Wadi untuk melaksanakan shalat Zuhur dan Ashar dengan jama’-qashar taqdim, dilanjut khutbah Arafah dan wukuf hingga terbenam matahari.

Seolah-olah penentuan lahirnya Muhammadiyah pada 8 Zulhijjah bukan sekedar kebetulan, tetapi mengingatkan pentingnya mengikuti sunnah Rasulillah SAW. Kalau diperhatikan masalah tarwiyah ini sebagian umat Islam (terutama jamaah haji Indonesia) tidak memandang penting, sehingga banyak yang tidak melakukan tarwiyah ketika melaksanakan ibadah haji. Oleh karena itu Jamaah Haji warga Muhammadiyah perlu memperhatikan pengamalan sunnah Rasulillah SAW, termasuk ibadah di hari Tarwiyah pada saat menunaikan Ibadah Haji.

Tajdid Muhammadiyah, Bukan Wahabisme

Dakwah Muhammadiyah yang menerapkan metode tajdid, yakni memurnikan dan memajukan pemahaman dan pengamalan Islam sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah dan keteladanan hidup Muhammad SAW dan generasi As-Sabiqunal Awwalun, dengan membersihkan segala takhayul, bid’ah dan khurafat yang bercampur baur dengan tradisi dan kepercayaan lokal yang bersumber dari agama sebelumnya memperoleh reaksi keras dari masyarakat termasuk umat Islam sendiri.

Dalam catatan penelitian yang dilakukan oleh James L Peacock, Deliar Noer dan Ahmad Jainuri serta beberapa peneliti lainnya, disebutkan bahwa dakwah Muhammadiyah banyak dipengaruhi oleh gerakan pemurnian dan pembaharuan Islam di Timur Tengah yang diperoleh KH. Ahmad Dahlan dalam lawatannya dua kali ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji, bahkan sempat bermukim di Mekah 1903-1905 dan memperlajari Islam dan gerakan Islam yang sedang berpengaruh di sana, mulai dari dari dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Abduh dan Rasyid Ridha. Menurut Djarnawi Hadikusuma, KH. Ahmad Dahlan atas pertolongan KH. Baqir dapat bertemu dan berdiskusi langsung dengan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha. Disebutkan pula bahwa dakwah Muhammadiyah memperoleh reaksi yang sangat keras dari kalangan tradisionalis sinkretik-heterodoks yang ingin tetap mempertahankan paham sinkretis-heterodoksnya. Dari sinilah, dakwah Muhammadiyah memperoleh stigma negatif sebagai penerus gerakan Puritanisme dan Wahabisme.

Stigma Wahabisme dihembuskan oleh kaum heterodoks sedemikian rupa seolah-olah dakwah Muhammad bin Abdul Wahab dan gerakan yang meneruskannya adalah dakwah intoleran, padahal apa yang dilakukan oleh para tokoh di atas termasuk gerakan-gerakan penerusnya seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad dan Persatuan Islam (Persis) menanamkan pemahaman dan pengamalan Islam yang murni bersumber Al-Qur’an dan As-Sunnah Al-Maqbulah dengan mengikuti keteladanan Rasulullah Muhammad dan generasi As-Sabiqunal Awwalun. Metode yang digunakan lebih banyak dengan media pendidikan, kesejahteraan sosial dan gerakan pemberdayaan masyarakat. Akan tetapi karena semakin rasionalnya masyarakat dan semakin banyaknya umat yang mulai menerima dakwah pemurnian dan pembaharuan ini dirasakan akan mengancamkan posisi kaum heterodoks-sinkretiks, maka mereka menghembuskan stigma negatif Puritanisme-Wahabisme sebagai kelompok fundamentalis-radikal.

Stigma negatif Gerakan Dakwah Muhammadiyah, menurut Deliar Noer yang diperkuat oleh penelitian Alwi Shihab,  juga datang dari kalangan non-Muslim (Nasrani-Yahudi) yang saat itu mendapatkan dukungan dari pemerintah kolonial Belanda, karena Muhammadiyah dipandang sebagai benteng kokoh untuk membendung laju gerakan Kristenisasi dan gerakan Free Masonry Yahudi, yang juga melancarkan misinya dengan pendidikan, kesejahteraan sosial dan pemberdayaan masyarakat. 
Akhir-akhir ini stigma itu muncul kembali, meskipun tidak langsung menyebut nama Muhammadiyah, tetapi gerakan dakwah pemurnian dan pembaharuan Islam dihubung-hubungkan dan dikait-kaitkan dengan gerakan dan aksi terorisme, yang padahal tidak ada hubungan dan kaitannya sama sekali. Tentu ada maksud di balik stigmaisasi tersebut.

Istiqamah dalam Dakwah dan Tajdid

Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dan tajdid, yang misi gerakannya adalah memurnikan dan memajukan pemahaman dan pengamalan ajaran Islam tidak akan terpancing dengan stigma tersebut, dan akan terus beristiqamah dalam dakwah dan tajdid, dengan terus mendalami pesan-pesan Al-Qur’an dan As-Sunnah Al-Maqbulah dan terus menerus memperbaiki metodologi gerakannya sejalan dengan perkembangan zaman dengan tetap berpijak pada prinsip-prinsip Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Ketika wacana deradikalisasi dimunculkan oleh BNPT sebagai upaya untuk mencegah dan meminimalisasi aksi kekerasan dan terorisme di Indonesia, Muhammadiyah akan mengambil bagian dengan meluruskan makna radikalisme dan deradikalisasi apabila dikaitkan dengan isu agama, sehingga upaya deradikalisasi dapat berjalan lebih tepat dan optimal, serta tidak salah sasaran. Apabila deradikalisasi tidak dilakukan secara cermat dan tepat justru akan kontra produktif, baik bagi umat Islam dan bangsa Indonesia sendiri. Terlebih-lebih apabila isu dan wacana deradikalisasi ini diboncengi oleh kepentingan politik tertentu baik dari dalam maupun luar bangsa ini, tentu akan berakibat sangat merugikan umat dan bangsa. Deradikalisasi hendaknya dipahami dan diaktualisasikan sebagai upaya mencegah paham dan gerakan kekerasan seperti yang terjadi pada aksi terorisme baik oleh kalangan Islam maupun non-Islam.

Memasuki tahun ke 111, Muhammadiyah perlu meningkatkan peranannya dalam perjuangan memurnikan pemahaman dan pengamalan Islam serta memajukan kaum Muslimin sebagai komponen utama sumberdaya insani bangsa Indonesia, sehingga  kemajuan umat Islam yang diikuti kekuatan iman dan taqwa kepada Allah akan menjadi modal bagi terwujudnya bangsa dan negara Indonesia yang maju dengan peradaban robbani, sebagaimana dicita-citakan oleh para pendiri bangsa ini yang tertuang dalam ideologi negara Pancasila dan cita-cita umat Islam     atas negerinya yakni terwujudnya baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur.

Oleh: Syamsul Hidayat

Belum ada Komentar untuk "Muhammadiyah dan Hari Tarwiyah"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel