Membangun Desa, Melayani hingga Papua

Pengajian Bulanan Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Jumat, 4 Oktober 2019, mengusung tema Membangun Persatuan dan Memajukan Bangsa Melalui Pelayanan Sosial-Kemanusiaan. Pengajian rutin di Aula PP Muhammadiyah Jakarta itu menghadirkan narasumber Ketua Muhammadiyah Disaster Management Centre Budi Setiawan, dokter peserta program Nusantara Sehat Kemenkes di Papua Amalia Usmaianti, aktivis pemberdayaan desa alumni Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Trisno, dan Sekretaris Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah Bachtiar Dwi Kurniawan.

Budi Setiawan menyatakan bahwa aktivitas kemanusiaan Muhammadiyah bertumpu pada reinterpretasi ajaran agama. Muhammadiyah lahir dari pelembagaan spirit al-Maun yang dipahami oleh Kiai Ahmad Dahlan secara berkemajuan dan melampaui zaman. “Ketika Kiai Dahlan mengajarkan al-Maun, mampu menggerakkan anak-anak muda, Kiai Sudja dan kawan-kawan. Pikirannya jauh ke depan. Al-Maun menjadi landasan nilai-nilai kemanusiaan yang mampu menggerakkan dan menolong sesama,” ulasnya.

Muhammadiyah, kata Budi, mengajak masyarakat di pedalaman untuk bangkit dan membangun kehidupan yang sesuai dengan pola dirinya. “Penting bagi kita sekarang ini untuk memahami dan memberikan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Mereka kadang tidak mengerti apa yang dibutuhkan dirinya sendiri, maka diperlukan asesment.”

Ide-ide besar Kiai Dahlan ini perlu terus kita hidupkan dengan kecerdasan dan kreativitas yang sesuai dengan abad ke-21. “Hajatnya PKU itu menolong semua orang yang melintasi sekat suku dan agama,” ujar Budi Setiawan. Pemahaman ini menjadi penting untuk memberi dorongan bagi segenap aktivis sosial-kemanusiaan Muhammadiyah di berbagai pelosok. Pengabdian mereka merupakan wujud dedikasi pada sesama.

Bachtiar Dwi Kurniawan menjabarkan bahwa kerja-kerja Muhammadiyah sering tanpa membawa bendera dan tanpa diketahui media. “Di lapangan, kita tidak menggunakan bendera lebih dahulu karena mengutamakan kemanusiaan. Yang penting mereka simpatik, minimal tidak memusuhi Muhammadiyah,” tuturnya yang kerap ke berbagai wilayah terpencil di Indonesia. Bahkan hingga ke Myanmar.

Keberadaan Muhammadiyah melampaui sekat agama. Terutama di Indonesia Timur, masyarakat non-Muslim merasakan dampak positif dari kegiatan pemberdayaan Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM). Di Papua, Muhammadiyah memberdayakan suku Warmon Kokoda. Di Kalimantan, Muhammadiyah memberdayakan masyarakat adat suku Dayak di Berau.

Mereka menaruh simpati pada Muhammadiyah. “Ada warga non-Muslim menghibahkan tujuh hektar tanah untuk Muhammadiyah. Ada penduduk non-muslim yang ingin membangunkan masjid bagi Muhammadiyah tapi ditolak oleh Pak Haedar karena tidak ingin dianggap Muhammadiyah punya misi Islamisasi,” kata Bachtiar yang juga kerap mendampingi Ketum PP Muhammadiyah Haedar Nashir ke daerah-daerah.

Bachtiar Dwi Kurniawan menjabarkan bahwa kerja-kerja Muhammadiyah sering tanpa membawa bendera dan tanpa diketahui media. “Di lapangan, kita tidak menggunakan bendera lebih dahulu karena mengutamakan kemanusiaan. Yang penting mereka simpatik, minimal tidak memusuhi Muhammadiyah,” tuturnya yang kerap ke berbagai wilayah terpencil di Indonesia. Bahkan hingga ke Myanmar.

Keberadaan Muhammadiyah melampaui sekat agama. Terutama di Indonesia Timur, masyarakat non-Muslim merasakan dampak positif dari kegiatan pemberdayaan Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM). Di Papua, Muhammadiyah memberdayakan suku Warmon Kokoda. Di Kalimantan, Muhammadiyah memberdayakan masyarakat adat suku Dayak di Berau.

Mereka menaruh simpati pada Muhammadiyah. “Ada warga non-Muslim menghibahkan tujuh hektar tanah untuk Muhammadiyah. Ada penduduk non-muslim yang ingin membangunkan masjid bagi Muhammadiyah tapi ditolak oleh Pak Haedar karena tidak ingin dianggap Muhammadiyah punya misi Islamisasi,” kata Bachtiar yang juga kerap mendampingi Ketum PP Muhammadiyah Haedar Nashir ke daerah-daerah.

Ibu Dokter di Pelosok Papua

Dokter Amalia yang juga lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara menceritakan pengalamannya mengikuti program Nusantara Sehat dari Kementerian Kesehatan. Sejak Mei 2017, ia bersama enam temannya ditugaskan selama dua tahun di Puskesmas Ninati, Kabupaten Boven Digoel, Papua.

Amalia Usmaianti tidak pernah membeda-bedakan latar belakang orang dalam memberikan pelayanan kesehatan. “Saya bangga bisa menolong semua masyarakat tanpa terkecuali, termasuk di pedalaman Papua,” tutur sosok yang senang bertemu semua lapisan masyarakat. Kedatangannya ke Papua membawa misi besar untuk meningkatkan kesehatan masyarakat setempat. “Misi ini tidak gampang di daerah perbatasan.”

Dirinya bersama tim membawahi lima kampung dengan rentang jarak puluhan kilometer. Mereka sering harus berjalan kaki puluhan kilometer untuk mencapai suatu desa yang hanya dihuni belasan Kepala Keluarga. “Melewati sungai, hutan, dan medan yang berat. Jika tidak tepat waktu, sampai malam, biasanya makhluk-makhluk di sana, seperti ular akan keluar.” Di awal-awal di sana, sampai menangis di jalan, “Melewati posko tentara sampai disemangatin oleh tentara, ‘Semangat ibu dokter!’”

Amalia menghadapi banyak tantangan. Tidak hanya secara fisik, namun juga terkait pola pikir dan pemahaman masyarakat. “Setiap mereka sakit, dikira ‘ini karena roh nenek moyang’ atau ‘ini karena uap kalimuyu’. Mereka tidak mau berobat ke dokter.” Namun perlahan, Amalia bersama timnya memberi penjelasan, menunjukkan bukti bahwa sakit itu bisa ditangani secara medis dan penyebabnya bukan karena hal-hal gaib seperti itu.

Beberapa waktu yang lalu, unggahan dokter Amalia di laman Facebooknya menjadi viral. Unggahan yang menjadi pembicaraan warganet ini merupakan kisah perjalanan menandu seseorang sepanjang belasan kilometer dengan gambaran akses jalan yang rusak parah. Kejadian semisal itu sering dialami bersama timnya.

Lima kampung di distrik yang menjadi wilayah tugasnya itu berbatasan langsung dengan Papua Nugini. Puskesmas tempat Amalia bertugas hanya memiliki 3 staf, yakni kepala puskesmas, bidan, dan perawat. “Tapi (mereka) jarang di tempat, karena kami (Tim Nusantara Sehat) stay di tempat,” ujar aktivis IMM tersebut.

“Sebelum kami menetap itu, hanya ada puskesmas pembantu yang dikunjungi sebulan sekali dari puskesmas distrik lain yang terdekat. Dan jarak ke puskesmas dengan ke Papua Nugini lebih dekat ke Papua Nugini, lewat hutan-hutan,” ungkap perempuan kelahiran Medan, 15 Mei 1990 ini.


Membangun Desa

Trisno menceritakan pengalamannya melakukan pemberdayaan desa. Masyarakat desa sering tidak mendapat akses pengetahuan, yang berimbas pada keseluruhan pola hidup. 
“Pendidikan rendah, produktivitas tidak baik, pola kehidupan tidak sehat, saya memutuskan untuk kembali ke desa. Di daerah-daerah masyarakat membutuhkan orang terdidik,” ungkapnya.

Mayoritas masyarakat di desanya berprofesi sebagai peternak. Saat masih berkuliah dan setiap pulang ke kampung halaman, Trisno kerap ditanya tentang urusan peternakan. Guna bisa menjawab pertanyaan itu, dia belajar secara otodidak pada ahli peternakan, diluar bidang kuliah Psikologi. Dari sana, dia mulai berusaha memahami dan memetakan masalah yang dihadapi masyarakat desa.

Setelah lulus, dia kembali ke kampung dan benar-benar memfokuskan diri membangun desa. Saat ini, Trisno telah memiliki Lembaga Pengembangan Sumber Daya Insani (LPSDI) Win Solution yang didirikan pada 12 Oktober 2005. Lembaga ini bergerak pada pendidikan luar sekolah untuk peningkatan kualitas SDM, peningkatan ketrampilan masyarakat serta pemberdayaan masyarakat desa. Atas kiprahnya, Trisno mendapat penghargaan kategori pemuda pelopor Jawa Tengah. 

(ribas / Suara Muhammadiyah)

Belum ada Komentar untuk "Membangun Desa, Melayani hingga Papua"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel