Cognitive Behaviour Therapy: Satu Jalan Menuju Kesembuhan

Kala itu hujan telah membasahi kompleks pendidikan International Islamic University of Malaysia (IIUM). Suasana sejuk nan syahdu meliputi daerah Gombak yang berada di utara Kuala Lumpur. Tim Majalah Tabligh dan rombongan Psikologi Islam Universitas Indonesia pada Rabu, 17 Januari 2017 berkesempatan untuk berbincang santai dengan Professor Malik Badri di kantor beliau terkait isu kekinian tentang kemajuan ilmu pengetahuan dan masyarakat global, khususnya untuk kemajuan umat Islam dunia serta tantangan yang dihadapi.

Meski sudah berumur 86 tahun, sosok hangat yang bernuansa ke-Bapak-an terasa kental ketika menyapa. Ialah Professor Malik Babikir Badri yang pernah menjabat sebagai Presiden pertama International Association of Muslim Psychologist (IIMP) dan juga peneliti The International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC). Beliau diakui sebagai salah satu pakar Psikologi Islam di dunia, selain Professor Ahmad Mubarok dan Professor Abdul Mujib. Berkewarganegaraan Sudan dan mengakar disana, tetapi juga telah lama tinggal di Malaysia serta memiliki kemampuan Bahasa Arab dan Inggris yang baik, sehingga memudahkan beliau menjelajah dunia serta menyampaikan pesan damai Islam.

Prof. Badri adalah panggilan yang disematkan banyak orang kepada beliau yang merupakan alumni dari American University of Beirut dan University of Leicester. Terlahir pada tanggal 16 Februari 1932, saat ini beliau kembali ke Sudan karena sudah pensiun dari dunia perkuliahan, tetapi tetap berjibaku di dunia pendidikan secara luas dengan memberikan general lecture ke berbagai kampus di dunia.

Melalui pembicaraan hangat dengan beliau, terungkap fakta-fakta yang mencengangkan terkait isu LGBT yang ramai diperbincangkan. Berikut kutipan pembicaraan yang berlangsung.

Dewasa ini isu LGBT kembali menjadi perhatian, masyarakat khawatir tentang eksistensi mereka dan kerap kali diidentikkan dengan pembawa penyakit HIV / AIDS. Apa yang sebenarnya harus dipahami masyarakat?

Sebelum berbicara lebih detil terkait LGBT, perlu diketahu masyarakat luas bahwa penyakit AIDS sebelumnya bernama GRID, kepanjangan dari Gay Related Intercourse Disease. Penyakit ini bukan timbul dari kera yang ditemukan di Afrika, melainkan dari Amerika yang ditemukan dari pasangan homoseksual, yaitu gay yang disebabkan oleh hubungan intim sesama jenis yang tidak higienis dan menyalahi naluri alamiah.

Bagaimana pengalaman Bapak dalam menghadapi kaum LGBT?

Pasien pertama saya adalah seorang diplomat muda di Sudan berjenis kelamin laki-laki. Ia pernah memiliki pengalaman sexual abusive ketika masa kecil, lalu memiliki suatu kecenderungan menyimpang ketika dewasa. Diplomat itu tidak menemukan rangsangan terhadap perempuan, melainkan laki-laki. Khususnya, pria kulit hitam yang memiliki aroma badan yang menyengat. Hal tersebut menyebabkan arousal pada dirinya, sehingga menjadikan dia memiliki kecenderungan same sex attraction (SSA). Dia menyadari hal tersebut dan datang kepada saya, ia menginginkan kesembuhan karena hal ini sangat mengganggu. Terutama ketika ia berinteraksi sosial dengan masyarakat seperti ketika shalat yang membuat ia harus bersinggungan sikut dengan jama’ah disebelahnya dan mencium aroma tubuh pria lain disekitar atau ketika bepergian menggunakan taksi dan hanya berduaan saja dengan pria yang dapat mengakibatkan arousal pada dirinya.

Apa yang Bapak lakukan untuk membantu Diplomat tersebut mengatasi SSA-nya?

Saya memberikan CBT (Cognitive Behaviour Therapy) dengan bentuk elecric bracelet berdaya voltase tertentu untuk mengendalikan perilaku yang muncul ketika menghadapi rangsangan. Voltase yang diberikan cukup memberikan efek kejut dan sakit kepada client, namun tidak membahayakan kesehatan dan penerapan prosedur yang tepat sesuai inform consent yang diberikan. Alat tersebut difungsikan oleh client ketika ia menghadapi rangsangan yang dapat membangkitkan gairah seks-nya dengan cara memukul bagian gelang tersebut, sehingga ia bereaksi dengan mengeluarkan sengatan listrik. Hal ini tidak dilakukan dengan sebentar dan butuh perhatian teliti oleh Psikolog terhadap perkembangan dari tiap sesi konseling dan terapi yang dijalani client.

Bagaimana hasil terapinya? Apakah membuahkan hasil positif?

Alhamdulillah, hasilnya tentu positif. Setelah beberapa lama melalui terapi dan berakhirnya masa penggunaan gelang elektrik tersebut, client mampu merubah perilakunya ketika menghadapi rangsangan. Tanpa gelang tersebut, dia mampu meyakinkan pikirannya dengan mengingat rasa sakit ketika memakai gelang bahwa perilaku yang dilakukannya buruk dan dapat berdampak siksaan di akhirat. Setelah beberapa tahun tidak berjumpa, saya mendapatkan kabar bahwa ia akan melangsungkan pernikahan dengan wanita yang ia cintai.

Adakah pesan yang ingin Bapak sampaikan kepada umat Islam?

Sebenarnya, kita umat Islam ini sudah dikarunia banyak hal yang luar biasa dalam kehidupan, khususnya ibadah kita yang merupakan terapi dari Allah untuk memperbaiki penyimpangan atau dosa yang sehari-hari kita lakukan. Setidaknya, melalui shalat kita wajib mengingat Allah dan kebesaran-Nya, walaupun hanya sedetik karena hal itulah yang akan membawa kita kepada kebaikan. Serta menyadarkan kita akan kekeliruan yang diperbuat. Shalat dapat menjadi instrumen terapi untuk memperbaiki diri dan mencegah dari perbuatan buruk, seperti LGBT. 

Belum ada Komentar untuk "Cognitive Behaviour Therapy: Satu Jalan Menuju Kesembuhan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel