Mempertahankan Islam di Malaka Barat, NTT



Hujan deras disertai angin kencang di Kabupaten Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, dan sebagian Kabupaten Belu memicu luapan air Sungai Benanain yang memporak-porandakan Kecamatan Malaka Barat, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur.

Luapan air Sungai Benanain, yang berketinggian 1,5 meter, sejak Sabtu (31/7) hingga Ahad (1/8) telah membuat tanggul penahan banjir jebol dan merendam 8.000 hektar sawah dan 12.000 hektar ladang penduduk.

Sejak Mei hingga Juli 2010, wilayah Malaka Barat telah enam kali dilanda banjir bercampur lumpur. Sebanyak 6 desa yang terus terendam banjir, di antaranya adalah Desa Sikun, Umato-os, Umalor, Lasaen, dan Besikama. Ketinggian banjir bervariasi dari setinggi 20 centimeter hingga dua meter.

Beberapa warga di Desa Sikun menuturkan, mereka tidak mampu bertahan hidup dengan terus menerus menerima banjir kiriman. Apalagi sejauh ini belum ada pihak mana pun yang memberi bantuan, termasuk Pemerintah Kabupaten Belu.


Sebelumnya, yaitu pada bulan Maret di tahun yang sama, telah terjadi kekeringan yang mengakibatkan jagung serta tanaman padi rusak. Sebagian warga terpaksa mengonsumsi makanan seadanya. Bahkan di antara mereka ada yang mengonsumsi putak yang merupakan makanan babi.

***

Adalah Husein (38), lelaki kelahiran Nusa Tenggara Timur yang telah cukup lama menetap di Jakarta untuk menimba ilmu, memilih untuk mengamalkan ilmunya di daerah dengan kondisi yang demikian memprihatinkan.

Husein sebagai da’i khusus Muhammadiyah ditugaskan di desa minoritas muslim di Masjid Al-Falah Kletek 75 km dari pusat kota. Husein ditugaskan secara resmi oleh MTDK PP Muhammadiyah sejak tanggal 1 Juni 2010 untuk membina jamaah dan generasi muda Islam di daerah itu agar dapat maju dan berkembang.

Pada awal penempatan, Husein tinggal di satu desa dengan segala keterbatasan. Tidak ada listrik yang mengaliri desa tempat tinggalnya. Setiap malam, cahaya redup lampu tempel yang selalu menemani. Orang-orang yang akan menghubunginya juga akan kesulitan. Sinyal telepon seluler di sana sangat lemah. Harus naik ke bukit lebih dulu untuk dapat berkomunikasi dengan baik.

Di samping itu, Husein harus ke kampung lain yang jaraknya sekitar tiga kilometer untuk merecharge baterai HP-nya. Jangan berpikir bahwa listrik di kampung lainnya itu juga sudah stabil. Sebab, listrik yang dimanfaatkan Husein berasal dari tenaga surya yang pemakaiannya cukup terbatas.

Untuk memperoleh air pun cukup sulit. Kalau musim hujan air ada di mana-mana, tapi kalau musim kemarau air sulit di dapat. Perlu berjalan kaki sekitar satu kilometer untuk mencari air. Jalan meliuk masuk ke lembah-lembah baru bisa dapat air. Padahal, menurut Husein ia tinggal tak jauh dari Sungai Benanain. Tempat tinggalnya sedikit naik ke gunung untuk menghindari banjir dari luapan sungai yang kadang datang tiba-tiba pada tengah malam. Biasanya antara jam 12 malam hingga jam 1 malam banjir sering datang tiba-tiba.

Selain kondisi alamnya yang cukup berat, ada tantangan lain yang tak kalah berat. Husein merupakan satu-satunya penganut Islam di desa itu. Karena itu, bukanlah hal yang mudah bagi Husein sebagai orang baru untuk dapat diterima di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas Katolik.

Husein mengungkapkan bahwa di daerah itu, selain pembinaan di Masjid Al-Falah ia juga menyempatkan mengajar di tiga sekolah. Di tiga sekolah yang ia masuki itu, memang tidak ada Kristen Protestan, Islam, Hindu, Budha. Semua Katolik. Dari kegiatannya di sekolah inilah akhirnya Husein bertemu dengan tokoh gereja, John Banunae.

“Dia (John Banunae) mengatakan bahwa Islam, orang ini (Husein-red) datang untuk melakukan Islamisasi di sini,” tutur Husein.

Sejak itu, kehadiran Husein sangat tidak disenangi oleh beberapa tokoh masyarakat setempat. Salah satunya John Banunae, tokoh gereja yang cukup keras di sana. Ia juga sempat akan diusir karena tokoh masyarakat itu tidak menginginkan adanya Islamisasi di daerah itu.

Tetapi ketegangan itu tidak berlangsung lama. Husein mengajak orang-orang yang menginginkannya keluar dari daerah itu untuk berdialog dengan ditengahi oleh tokoh adat setempat yang bernama Ambe Matakane.

Akhirnya, sebagai awalan Husein membentuk pertemuan antara perwakilan Katolik dengan Islam. Tapi pada saat itu tidak mengundang banyak orang, hanya cukup John Banunae dan Ambe Matakane yang dianggap sebagai tokoh yang bisa memutuskan antara Husein dapat tinggal di situ atau harus keluar. Ambe Matakane adalah tokoh yang dapat menetralisir antara tiga desa, tempat Husein tinggal.

Dalam dialog itu, Ambe Matakane justru memaparkan bahwa dahulu memang Islam telah sempat hadir di Malaka Barat. Ambe Matakane mengatakan bahwa Islam pertama kali masuk di NTT melalui Malaka Timur tapi tidak tembus, akhirnya masuk lewat Malaka Barat. Setelah itu masuk lewat Malaka Tengah, akhirnya berlanjut ke Kupang dan ke Flores. Tapi karena tidak ada da’i yang membina umat di situ akhirnya di situ masuk ke Katolik semua di kemudian hari.

Dari dialog itu, akhirnya tidak terjadi pengusiran. Husein justru mendapat tempat tinggal baru di Desa Katarak yang ia tempati sekarang dari tokoh adat setempat. Sebelumnya, tempat tinggalnya lebih dekat ke pantai dan di dekat sungai yang suka banjir. Husein juga diakui sebagai orang asli NTT dan punya pemahaman baru terhadap sejarah atau kaitan antara orang Belu dengan Islam.

“Jadi berhubungan dengan orang Belu ini, tidak ada batas. Batas antara saya dengan orang Belu ini tidak ada,” kata Husein.

Terakhir, Husein mengatakan bahwa Ambe Matakane mempersilahkan juga kalau ingin membangun sekolah Islam atau rumah ibadah Islam. Hal itu tidak apa-apa sebab Islam pertama masuk lewat daerah ini.

Meskipun diijinkan untuk membangun sekolah Islam dan Masjid, tapi karena Husein masih baru di sana, ia perlu mempersiapkan teman-teman yang muslim terlebih dahulu agar bisa berkiprah dan membantunya mengembangkan daerah itu.

***

Belum lama ini, Husein mengungkapkan bahwa ada lima orang yang mau masuk Islam, menjadi mualaf. Kelima orang itu pun diterima dan disyahadatkan bersama komunitas muslim di sana. Dua orang yang menjadi mualaf dikirim ke pulau Jawa lewat Darunnajah untuk menuntut ilmu. Sementara yang tiga lainnya tetap tinggal di Belu.

Nafkah yang diterima Husein dari MTDK yang pertama, ia gunakan untuk mensyahadatkan kelima orang itu. Ia membelikan mukena, kain, sajadah, peci, dan Al-Quran. Selain itu, ia juga memberikan nafkah 35 ribu rupiah per orang.

Karena tinggal di daerah hutan dan jaraknya yang jauh-jauh satu dengan yang lainnya, Husein hanya bertemu mereka seminggu sekali atau bahkan hanya sebulan dua kali. Ke depan, Husein berencana untuk bisa membina mereka dengan melakukan dakwah dari rumah ke rumah, dan berbagi cerita.

Untuk itu, Husein berharap akan ada minimal satu da’i pendamping baginya. Menurutnya, kalau ia keluar di lokasi lain yang sangat jauh-jauh itu, mungkin banyak umat lainnya yang tidak terbina dengan baik. Dalam pembinaan ilmu-ilmu agama pun masih sangat kurang. Sholat saja mereka masih susah, dan yang sudah Islam tanpa pembinaan yang baik banyak yang masih ragu-ragu.

Beberapa waktu belakangan ini, Husein mengungkapkan pula bahwa kadang-kadang banyak yang mau masuk Islam. Tapi ia melihat kondisi dirinya masih belum kuat untuk mensyahadatkan mereka. Karena ia harus berhadapan dengan kelompok lain yang cukup keras.

Kelompok lain yang cukup keras terhadapnya biasanya masyarakat yang belum tahu Islam. Sementara masyarakat yang sudah tahu seperti ketua adat Ambe Matakane itu sangat membebaskan Husein.


***


Setelah beberapa kali dialog, Husein mengungkapkan bahwa terakhir ini mereka katakan bahwa kita ini pelayan Tuhan, suatu saat kita akan kembali kepada Tuhan, jadi tugas kita hanya melayani umat. Kita serahkan kepada umat mengenai kepercayaan yang mereka pilih. Islamkah atau Katolikkah, Hindukah atau Protestan.


Dalam dialog itu disepakati bahwa Husein pun juga tidak akan memaksakan mereka untuk masuk Islam. Namun, apabila suatu saat ketika mereka memilih Islam, Husein meminta agar jangan paksakan juga mereka untuk kembali ke Katolik atau ke Kristen.


“Kita saling membina, membantu jamaah jangan sampai keluar masuk Kristen ke Islam terus ke Kristen lagi dan ke Islam lagi, tidak boleh ada itu... Dalam berdakwah juga tidak boleh saling memaksa, kita sepakat saling menghormati,”

Saat ini, dalam perkara-perkara yang bukan ibadah setiap kali ada acara Husein mengundang mereka, begitupun sebaliknya. Jika mereka ada acara mereka juga mengundang kelompok Islam. Namun, kegiatan darinya masih minim dari kegiatan untuk mengangkat taraf hidup masyarakat yang berada di perbatasan Indonesia-Timor Timur ini.

[Firmansyah]

Belum ada Komentar untuk "Mempertahankan Islam di Malaka Barat, NTT"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel